Dekontruksi 'Nalar Tafsir' Hermeneutik

Oleh Dar El Azka

Sebelum kita memahami pola tafsir jenis ini terlebih dahulu kita perlu melakukan identifikasi antara teori dan metodologi hermeneutik (berawal dari konstruksi barat) dan operasionalisasi hermeneutika yang oleh sebagian kalangan diintroduksikan secara definitif sebagai metodologi alternatif dalam dunia penafsiran Islam.

Konsep Dasar Hermeneutik
Hermeneutika pada dasarnya adalah satu di antara teori dan metode menyingkap makna simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa tanggung jawab utama dan pertama dari hermeneutika adalah menampilkan makna yang ada dibalik simbol-simbol yang menjadi obyeknya. Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes [1] secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran, yaitu :
1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Hermes
2. Perantara atau penafsir (Hermes),
3. Penyampaian pesan oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Bisa dikatakan ketiga unsur inilah nantinya yang akan menjadi tiga unsur utama dalam hermeneutik, yaitu sifat teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks dan bagaimana pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsirkan teks.
Hermeneutik secara ringkas bisa diartikan sebagai "proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti" Definisi ini agaknya definisi umum dan disepakati terhadap hermeneutik, meskipun secara lebih jelas jika melihat terminologinya, kata hermeneutika ini bisa didefinisikan sebagai tiga hal :

1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang lebih dimengerti si pembaca
3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang lebih jelas [2].

Dari pengertian dasar di atas, kemudian beberapa kalangan mencoba mengklasifikasikan hermeneutik secara definitif dalam beberapa istilah dan pembagian disebabkan perubahan persepsi dan perkembangan pemahaman tentang hermeneutik.

Beberapa Ketegori HermeneutikaHal ini sangat terkait dengan persepsi dalam pendefinisian hermeneutik. Richard E. Palmer, misalnya, mengkategorikan hermeneutik dalam enam kategori :
1. Hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, dimana hal ini dapat disaksikan dalam berbagai agama. Dalam Yahudi, Ahli Kitab menafsirkan teks-teks Taurat, dalam Nasrani berusaha menafsirkan teks-teks perjanjian lama, sementara dalam Islam, bisa dilihat dari polemik tafsir bi al-ma'tsûr dan tafsir bi ar-ra'yi. Keberagaman aspek metode maupun hasil, semuanya bersifat hermeneutis karena hal tersebut tidak lain muncul dari hasil interaksi antara teks dengan konteks yang mengolahnya, baik konteks penafsir itu sendiri maupun konteks ketika penafsiran dilakukan. Dalam perkembangan selanjutnya, dilahirkan Hermeneutika Romantik yang memperluas jangkauan interpretasi teks mulai dari pembedaan teks dari aspek gramatikal hingga tinjauan kondisi psikologi seorang penafsir.
2. Hermeneutika sebagai metode filologis (budaya dan kerohanian), hal ini didasari pemikiran bahwa perlakuan terhadap sebuah teks berkembang sejalan dengan berkembangnya rasionalisme dan filologi pada abad pencerahan, kata Johan August Ernesti, ‘‘Pemahaman secara verbal terhadap kitab suci harus tunduk di bawah aturan yang sama dengan yang dilakukan terhadap teks lain’’. Dari sinilah Rudolf Bultman, seorang teolog modern memperkenankan konsep Demitologisasi yang artinya mempersepsikan mitos sebagai ungkapan simbolis mengenai realitas dengan mempergunakan gambaran-gambaran atau kiasan-kiasan. Pola ini banyak dipakai oleh pembaharu agama (termasuk pembaharu Islam) untuk mendobrak umat dari keterkungkungan tekstual dan menerima apa adanya berbagai mitos dan simbol tanpa berusaha mengungkap muatan makna yang terkandung.
3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik, dimana semua interpretasi teks harus didasarkan pada hermeneutika ini. Dalam bagian ini menegaskan pada dasarnya rekonstruksi makna yang dilakukan oleh seorang penafsir adalah berdasarkan apa yang tidak asing baginya kemudian dikaitkan dengan keunikan dirinya sebagai anak jaman dan paradigma pemikiran tertentu.
4. Hermeneutika sebagai fondasi metodologis dari Geisteswissenschaften, yakni hermeneutika tidak hanya sekedar untuk menginterpretasikan teks, akan tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktik sosial dan lain-lain.
5. Di mata Gadamer, metode-metode yang di anggap sudah final dan valid untuk mencapai kebenaran itu pada gilirannya akan menjadi ‘penjara’ dalam dunia pencarian kebenaran itu sendiri. Dan menurutnya, hermeneutika bukan metode, tetapi sebuah ‘seni’.Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial, jenis ini dikembangkan oleh Martin Heidegger dengan muatan filosofis berbeda dari pengertian hermeneutik lainnya. Dikenalkan bahwa hermeneutika adalah ciri hakiki manusia atau penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein). Dari sinilah Gadamer mengembangkannya dalam effective history, dia melihat ada tiga kerangka waktu. Pertama, masa lampau di mana teks itu dilahirkan dan dipublikasikan. Sehingga teks bukan milik penyusun lagi, melainkan milik setiap orang dan mereka bebas menginterpretasikannya. Kedua, masa kini yang di dalamnya ada penafsir dengan prejudice (persangkaan) masing-masing. Prejudice tersebut akan berdialog dengan masa sebelumnya hingga muncul penafsiran sesuai konteks sang penafsir. Ketiga, masa depan di mana di dalamnya terdapat nuansa baru yang produktif. Dalam kerangka ini akan terjadi percampuran horison, setidaknya ada horison pengarang dan segala yang melingkupi, horison teks dan horison penafsir serta segala yang meliputi, seperti negara tertentu atau psikologis tertentu.
6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Setelah hermeneutika mengalami beragam pendefinisian di tangan beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian dari metode filsafat, maka kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Riceour yang menarik kembali diskursus hermeneutika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks (textual exegesis). Dalam bukunya De l'interpretation (1965) dia mengatakan hermeneutika adalah ‘‘teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap sebagai teks’’. Hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaaan makna dari simbol-simbol.
Bagi Riceour langkah pemahaman itu ada tiga, yaitu :1) Langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. 2) Pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna 3) Langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya [3].
Sedangkan paradigma kontemporer mengenalkan tiga bentuk perspektif menyikapi problem hermeneutis yang timbul dengan sendirinya ketika seseorang disodori teks yang masih asing dan berusaha ia pahami,
Pertama, hermeneutika teoritis, pandangan ini mempersoalkan metode apa yang sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang penafsir dari kesalahpahaman, dus menemukan makna objektif dengan metode yang valid pula. Schleiermacher menegaskan, penafsiran gramatikal bertitik tolak pada wacana umum tentang suatu bahasa, kebudayaan dan penafsiran psikologis didasarkan pada subjektivitas pengarang. Pembaca berusaha merekonstruksi subyektivitas tersebut sehingga dapat memahami maksud pengarang bahkan lebih baik dari bagaimana ia mengerti karyanya sendiri. Sedangkan Dilthey cenderung memahami bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya.
Kedua, hermeneutika filosofis, dimana Gadamer sebagai pelopor mencoba melakukan lompatan seperti ketika hermeneutika menjadi fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial di atas. Ketiga, hermeneutika kritis, berawal dari tantangan dari pemikir ‘‘kritik ideologi’’ dimana problem utama hermeneutik justeru adalah faktor-faktor ekstralinguistik dan teks lebih banyak dicurigai daripada diafirmasi karena tradisi bisa jadi tempat persembunyian kesadaran palsu [4].
Kerangka Penalaran Hermeneutika
Meskipun terdapat beragam pendefinisian terhadap hermeneutika sebagamana tersebut di muka, secara umum bisa dikatakan bahwa hermeneutika merujuk pada teori penafsiran, baik yang ditafsirkan itu teks atau sesuatu yang diperlakukan teks. Seperti apapun bentuk pembacaan, pemahaman dan penafsiran yang dilakukan seseorang terhadap teks maupun sesuatu – termasuk realitas – yang diperlakukan sabagai teks, maka dapat dikatakan bahwa pembacaan, pemahaman dan penafsiran tersebut merupakan bentuk hermeneutika tersendiri. Tidak heran jika kemudian term hermeneutika ini menjadi sangat populer dan umum serta beragam dalam berbagai disiplin keilmuan, termasuk satu di antaranya adalah "Hermeneutika Qur'ani'. Sebagai suatu metode penafsiran, dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah sebuah bidang kajian yang membahas mengenai bagaimana menggunakan instrumen sejarah, filologi (budaya dan kerohanian), manuskriptologi dan lain sebagainya sebagai sarana untuk memahami maksud dari satu obyek yang di tafsirkan.
Di sisi lain wilayah hermeneutika juga menggarap proses dan asumsi-asumsi yang berlaku dalam suatu pemahaman dan penafsiran tertentu sebagaimana dijelaskan dalam hermeneutika filosofis. Ini berarti, hermeneutika dalam dimensi filosofis dapat didefinisikan sebagai suatu ‘pemahaman terhadap’ pemahaman". Ibarat ‘‘cerita berbingkai’’ dalam dunia sastra, maka hermeneutika adalah suatu pemahaman terhadap suatu pemahaman yang dilakukan seseorang dengan menelaah proses dan asumsi-asumsi yang berlaku dalam pemahaman tersebut, termasuk di antaranya konteks-konteks yang melingkupi dan mempengaruhi proses tersebut. Hal ini secara umum dilakukan setidaknya untuk dua tujuan : Pertama, untuk meletakkan hasil pemahaman yang dimaksud dalam porsi dan proporsi yang sesuai dan kedua, untuk melakukan suatu reproduksi makna dari pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk kontekstualisasi. Menariknya, pada gilirannya, pemahaman terhadap pemahaman ini akan juga menjadi obyek pemahaman dan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan pemahaman sebelumnya. Dan demikianlah seterusnya proses semacam ini berlanjut tanpa harus overlapping dalam pemahaman karena pemahaman-pemahaman yang baru dalam kerangka hermeneutika ini selalu mempertimbangkan konteks ketika pemahaman dilakukan.
Kondisi hermeneutika yang semacam ini seringkali mengundang kritik akan adanya muatan relativisme di dalamnya. Adanya perubahan dan perkembangan pemaknaan terhadap teks tidak jarang memunculkan tuduhan bahwasanya bagi hermeneutika tidak ada kebenaran yang obyektif, semuanya tergantung ruang dan waktu, ringkasnya : kebenaran bagi hermeneutika itu relatif. Kritik ini dapat dijawab dengan dua cara :
Pertama, apa yang dimunculkan oleh hermeneutika dengan keniscayaan terlibatnya konteks dalam pemahaman dan penafsiran tersebut sebenarnya bukanlah sebuah asumsi yang semena-mena. Hermeneutika pada dasarnya hanyalah mengekspos realitas yang sebenarnya dari suatu pemahaman dan penafsiran. Disadari atau tidak seorang yang memahami itu pasti terkondisikan oleh konteks-konteks yang berhubungan dengan dirinya, baik konteks psikologis maupun konteks sosial budaya tempat berada. Dengan kata lain, seandainya benar dalam pandangan hermeneutika makna itu menjadi relatif, maka itu bukanlah salah hermeneutika, tetapi kodrat manusialah yang menuntut pandangan semacam itu.
Kedua, reproduksi makna melalui pemahaman yang baru dilakukan oleh hermeneutika terhadap teks tidak dapat dikatakan menciptakan satu makna baru sama sekali berbeda dan tidak berkaitan dengan makna atau pemahaman lama. Dalam hal ini hermeneutika hanyalah melakukan sebentuk kontekstualisasi dalam arti menyelaraskan pemahaman atau makna suatu teks dengan konteks ketika pemaknaan dan pemahaman tersebut berlangsung agar teks yang dimaksud dapat fungsional dan operasional. Dengan model semacam ini maka tidak dapat dikatakan bahwa makna dalam hermeneutika itu relatif karena sebenarnya ada yang tidak berubah, yaitu teks dan makna esensial dari teks itu sendiri, hanya saja pemahaman dan pemaknaan baru yaang dilakukan terhadapnya mengalami penyesuaian.
Hermeneutika Dan Ilmu Tafsir Al-Qur'an
Salah satu yang paling dekat dari agama dengan hermeneutik adalah kitab suci, karena memang hermeneutika pada dasarnya muncul sebagai metode untuk memahami kitab suci, termasuk kitab suci umat Islam, Al-Qur'an.
Persoalan yang sering dihadapi berkait dengan hermeneutika dan kitab suci ini antara lain adalah bagaimana teks kitab suci mampu berbicara dengan generasi yang datang setelah teks itu lahir? Bagaiman teks kitab suci itu bisa operasional dan fungsional dalam masyarakat yang berbeda corak hidup dan kultur budayanya dengan masyarakat saat teks tersebut lahir? Apakah jaminannya sebuah penafsiran atau pemahaman bisa diterima? Bisakah pesan teks itu disampaikan tanpa mengalami distorsi dan penyimpangan makna? dan lain sebagainya.
Istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir Al-Qur'an klasik, memang tidak ditemukan. Meski demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya Qur'an : Liberation and Pluralism, praktik hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-Qur'an. Bukti dari hal itu adalah :

1. Problematika Hermeneutik itu senantiasa didalami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian asbâb an-nuzûl dan nasakh mansûkh
2. Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap Al-Qur'an (tafsîr) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak dimulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsîr.
3. Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi'ah, tafsir mu'tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu maupun horison-horison tertentu dari tafsir.

Meskipun demikian, operasionalisasi hermeneutika secara utuh seringkali ditentang umat Islam tradisional, karena hermeneutika ini setidaknya membawa tiga macam implikasi yang bertentangan dengan pendirian para ilmuwan muslim konvensional. Tiga macam implikasi tersebut adalah :

1. Hermeneutika membawa implikasi bahwasannya tanpa konteks, teks itu tidak berharga dan bermakna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa makna sebenarnya itu adalah apa yang dimaksud oleh Allah sendiri.
2. Hermeneutika memberi penekanan kepada manusia sebagai perantara yang menghasilkan makna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa Tuhanlah sebenarnya yang menganugerahkan pemahaman yang benar terhadap seseorang.
3. Sangat berbeda dengan tradisi hermeneutika, ilmuwan muslim tradisional telah membuat pembedaan yang tidak terjembatani antara teks dan tafsir serta penerimanya, teks Al-Qur'an dianggap sangat sakral sehingga makna yang sebenarnya tidak mungkin bisa dicapai.

Di samping berakibat ditentangnya pola penafsiran ala hermeneutika, pandangan-pandangan tradisional tersebut sampai tingkatan tertentu juga menyebabkan rasa kurang percaya diri ‘‘Pede’’. Terbukti misalnya dengan adanya idiom wallahu a'lam dalam setiap akhir penafsiran, maksudnya betapapun penafsiran yang dilakukan tersebut sangat rentan terhadap kesalahan karena yang paling mampu memahami makna sebenarnya adalah Allah. Di satu sisi hal ini dapat dipandang sebagai satu sikap rendah hati, tetapi di sisi lain, sikap semacam ini pada akhirnya akan membawa implikasi tidak sungguh-sungguh karena merasa tidak sempurna dan yang lebih ironis lagi adalah tidak berani memberi kepastian akan kebenaran makna yang dipahami, sementara sebagai sebuah pedoman, Al-Qur'an harus jelas dan pasti maksudnya agar dapat operasional dalam kehidupan. Agaknya pendirian ini melupakan sabda Nabi e yang menyatakan bahwa betapapun salah ijtihad itu, maka ia tetap mendapat pahala. Memahami dan menafsirkan Al-Qur'an harus dikatakan adalah sebentuk ijtihad [5].
Diskursus penafsiran al-Qur'an tradisional lebih banyak mengenal istilah at-Tafsîr, at-Ta'wîl dan al-bayân. Meskipun pada dasarnya hermeneutika adalah kosa kata filsafat barat, namun belakangan banyak digunakan oleh beberapa pemikir muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru penafsiran al-Qur'an. Istilah tersebut diintroduksi secara definitif antara lain oleh Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Arkkoun, Abû Zayd, Amina Wadud Muhsin, Ashgar Ali Engineer dan Farid Esack untuk menjelaskan metodologi penafsiran al-Qur'an yang lebih kontemporer dan sistematis [6].
Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik hermeneutis dalam memahami al-Qur'an di masa Nabi e dan shahabat masih banyak diliputi argumen dogmatis ketimbang penalaran kritisMeskipun teks al-Qur'an cukup inspiratif, namun cukup mengherankan bahwa dalam sejarahnya perbincangan mengenai problem hermeneutis tidak muncul seiring kemunculan teks al-Qur'an dalam sejarah. Helmut Gatje (1996:31) memperkirakan setidaknya ada dua faktor penyebabnya. Pertama, adanya otoritas Nabi e dan kedua, persoalan kesadaran keagamaan. Nabi e tidak hanya berfungsi sebagai pembawa wahyu, namun sekaligus sebagai penafsir otoritatif dengan al-hadîts sebagai bentuk formalnya. Terdapat juga beberapa penafsiran shahabat, namun kemudian segera masuk ke dalam lingkaran otoritas kenabian dan harus mendapatkan pembenaran oleh Nabi e yang dikenal dengan ‘‘sunnah hidup’’. Menyangkut persoalan kedua pada masa-masa awal Islam kesadaran keagamaan kaum Muslim masih kental dengan argumen-argumen dogmatis. Masalah kenabian, mukjizat dan hal-hal metafisis lainnya dieliminir dengan mengembalikan pada keyakinan bahwa di dalamnya terdapat teladan (ibrah) dan hikmah yang diselipkan Allah I [7].

At-Tafsîr dan At-Ta'wîl
Sebenarnya tradisi hermeneutika Al-Qur'an mewarisi epistemologi al-bayan dan al-'irfan yang masing-masing menurunkan at-tafsîr dan at-Ta'wîl sebagai dua pendekatan yang berbeda dalam memahami teks. Pada bagian ini, penulis akan mencoba menjelaskan lebih lanjut kerangka epistemologis yang menyusun keduanya:
1. Kerangka Epistomologis
At-tafsîr dan at-Ta'wîl, secara umum dimengerti sebagai penafsiran atau penjelasan. Akan tetapi, al-ta'wil merupakan interpretasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan penafsiran metaforis terhadap Al-Qur'an, Sementara at-tafsîr berkaitan dengan interpretasi eksternal. Jika dalam tipologi yang terakhir terdapat pemilahan metode penafsiran rasional dan penafsiran dengan bantuan dalil teks, maka dalam at-Ta'wîl juga dikenal istilah at-tafsîr al-'Asy'ari dan al-tafsir al-bathin.
Secara tradisional, at-tafsîr memang dibedakan dengan at-Ta'wîl. Setelah menimbang-nimbang berbagai sumber pembentukan kata (musytaqqat al-kalam) dan penggunaannya dalam berbagai konteks (Siyaq al-kalam) dalam literatur bahasa arab dan keilmuan Islam, maupun dalam Al-Qur'an sendiri, menyimpulkan bahwa arti kata at-tafsîr pada hakikatnya adalah upaya ‘‘menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator’’.
Kesimpulan ini berasal pengertian kata at-tafsîr yang merupakan turunan dari kata fassara dan safara. Verba fassara dinominalkan ism al-masdar oleh kata al-fasr dan al-tafsirah yang masing-masing berarti pengamatan dokter terhadap air (al-fasr) dan urine yang digunakan sebagai indikator penyakit (al-tafsirah). Kedua kata tersebut menunjukkan dua entitas yang saling berhubungan : materi yang berfungsi sebagai medium yang diamati dokter untuk mengetahui penyakit, dan tindakan dalam diagnosa penyakit.
Sementara itu, kata safara, kata rujukan lain untuk al-tafsir mengandung arti perpindahan dan perjalanan yang kemudian diperluas artinya menjadi penyingkapan dan pemunculan. Perpindahan dan perjalanan terungkap dalam berbagai turunan kata safara : al-musafir dan al-safr.Al-musafir (orang yang melakukan perjalanan) disebut demikian karena pada masa lalu mereka menggunakan penutup muka ketika mengembara di antara pegunungan dan gurun-gurun pasir. Ia harus menyingkap tudung di wajah mereka agar dapat dikenali dan diketahui sifat-sifat dan moralnya. Dalam Al-Qur'an ada kata wujuhum yauma'idzin mufsirah yang maksudnya " wajah mereka bersinar-sinar".
Kata as-safr, demikian pula, berarti utusan dan pendamai antar kelompok. Kata ini mengandung makna usaha transformasi pendirian yang bermakna perindahan dan juga gerakan. Di lain pihak, kata as-safar dan as-safarah (mufrad : safr) digunakan masing-masing dalam arti buku (kitab) dan para penulis. Penggunaan dalam Al-Qur'an dan hadits untuk dua makna terakhir menunjukkan bahwa kata at-tafsîr berhubungan dengan perbuatan menyingkap dan menjelaskan. Implisit pula di dalamnya, usaha-usaha yang berhubungan tranformasi dan mobilitas ketika penjelasan dilakukan. Abû Zayd lebih lanjut mengatakan bahwa safar yang berarti kitab terkait dengan usaha menyingkap sesuatu yang tidak diketahui. Kitab menyingkap apa yang tersembunyi di hati, makana-makna psikologis atau pikiran yang menggerakkan jiwa. Kitab di sini menjadi tanda atau petunjuk bagi makna yang tersembunyi dan masih menjadi rahasia. Di sini kata safar atau kitab berubah menjadi al-tafsirah (gejala, indikator) yang dengannya penyakit dapat diketahui.
Sementara itu istilah at-Ta'wîl berasal dari kata Aul yang berarti kembali ke sumber atau sampai pada tujuan. Jika kembali ke sumber menunjukkan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, makna sampai tujuan adalah gerak dinamis (Abû Zayd 1990:230). Setelah menganalisis pelbagai bentuk penggunaan tersebut, dalam ilmu bahasa arab dan al-Qur'an, Abû Zayd menyimpulkan bahwa at-Ta'wîl berarti kembali pada sesuatu (perbuatan atau perkataan) untuk menyingkap makna yang ditunjukkan (dilalah) atau sumber (al-ashl) dan signifikansi (al-maghza) atau implikasi (al-Aqibah) (Abû Zayd 1990:230/ 31; 1992 a: 116). Abû Zayd memetakannya dengan sangat jenial berikut ini :

Dapat disimpulkan dari perbedaan istilah antara at-Tafsîr dan at-Ta'wîl bahwa terdapat perbedaan penting di antara keduanya ; tampak kegiatan at-Tafsîr selalu membutuhkan at-tafsirah, yakni mediator yang menjadi perhatian mufasir sehingga dapat sampai pada pengungkapan apa yang diinginkan, sementara at-Ta'wîl adalah kegiatan (memahami) yang tidak selalu membutuhkan mediator tapi kadang-kadang pada gerak nalar dalam menyingkap hakikat fenomena atau akibatnya. Dengan kata lain at-Ta'wîl dapat didasarkan pada salah satu bentuk hubungan langsung antara subyek dengan obyek, sementara hubungan semacam itu dalam kegiatan at-Tafsîr tidak berupa hubungan langsung, tapi melalui mediator baik bahasa teks dan kadang-kadang melalui suatu indikator. Dalam dua prasarat (bahasa dan indikator) tersebut harus terdapat mediator berupa penanda yang dengannya subyek dapat memahami obyek secara sempurna (1990:31)

2. Implikasi Metodologis
Karena penekanan pada aspek nalar dan ijtihad dalam at-Ta'wîl lebih dominan ketimbang pemahaman melalui bahasa dan penggunaan metode problematik (ilmu-ilmu Al-Qur'an) tertentu, maka dalam wacana studi Al-Qur'an tradisional, terdapat juga pemilihan yang cenderung ideologis antar terminologi at-Tafsîr dan at-Ta'wîl. Yang pertama dianggap dapat menghasilkan penafsiran Al-Qur'an yang lebih valid dan obyektif yang diwakili oleh mereka yang lebih kuat berpegang pada riwayat atau teks (naql) yang disebut Ahl as-Sunnah .Sementara yang terakhir, sebaliknya, dituduh lebih mengikuti tendensi ideologis dalam kegiatan penafsiran, seperti yang dilansir dalam ayat "fi qulubinq zaygh fayattabi'una ma tsyabah minh ibtigha' al-fitnah". Yang terakhir ini kemudian disematkan kepada golongan Mu'tazilah (sayap rasional umat) dan kaum sufi pada umumnya (Abu Zayd 1990 : 223-224) [8].

Kesenjangan Hermeneutika al-Qur'an
Dari dua perspektif hermeneutik di atas, yakni hermeneutik dalam kaca mata kontemporer berbasis kebebasan interpretasi dan hermeneutik yang diintroduksi secara definitif oleh pemikir muslim modern, dapat kita saksikan sebuah reduksi term metodologis dengan mengesampingkan deferensiasi, implikasi serta spektrum penalaran masing-masing. Karena hermeneutik tidak mungkin direduksi dalam model at-Ta'wîl, at-Tafsîr bukan pula Ushul Fiqh.
Beberapa kalangan yang ‘‘rame-rame’’ mengenalkan dan berusaha mendefinisikan hermeneutik dalam skala ‘‘metodologi tafsir al-Qur'an’’ nampaknya kesulitan melakukan artikulasi sehingga terjadilah ideologisasi teks, demitologisasi dan universalitas tendensius.
Persoalan lain, metodologi yang mereka tawarkan adalah dalam ‘‘al-Qur'an’’ dimana kita tidak bisa mengeliminasi keyakinan umat Islam bahwa al-Qur'an adalah petunjuk final bagi hidup manusia. Ketika al-Qur'an ‘dipaksa’ mengikuti gerak hermeneutika sama halnya kita melepas al-Qur'an dan merelakannya untuk ditafsirkan menurut kode etik hermeneutis. Minimal kita akan menyaksikan ideologisasi teks ala ‘‘Hasan Hanafi’’ atau jika tidak terbendung, periode berikutnya akan kita jumpai ‘‘al-Qur'an perjanjian baru’’ dan ‘‘perjanjian lama’’, senasib dengan Bible na'udzu billah min dzalik.
Konsep dasar hermeneutik kontemporer, terutama dari pemikir muslim modern dalam operasionalisasi penafsiran al-Qur'an banyak mengalami kerancauan, baik ketika menjadi sebuah metodologi maupun ketika memasuki tataran aplikasi (tathbiqi).
1. Hermeneutika di masa transisi.
Corak ini dapat kita lihat dalam tafsir Al-Manâr karya Muhammad Abduh. Dalam bukunya, Fakhruddin Faiz dalam Hermenetika Qur'ani-nya (131-133) mencermati penafsiran dalam al-Manâr bersifat ‘‘penafsiran tekstual’’ mengkiblat tipologi kebahasaan yang dibuat oleh John Wansbrough dan konsep kata atau bahasa cenderung pada konsep langue (abstraksi artikulasi bahasa pada tingkat sosial) atau sistem tanda yang memisahkan diri dari parole (ekspresi bahasa pada tingkat individu) atau sebuah event (wacana).[9] Langue banyak kita temukan dalam tafsir-tafsir klasik. Arkoun menyebut tafsir jenis ini sebagai filologisme karena terbatas dalam aspek teks.
Analisa kritis
Dalam bagian akhir bukunya, Faiz menggariskan, meskipun dalam al-Manâr menampakkan adanya operasi hermeneutik namun tidak secara utuh merepresentasikan hermeneutik sebagai alat penafsiran, khususnya berkaitan dengan senergi atau keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasinya. Persoalannya, menurut kami, apa yang mereka istilahkan dengan tafsir tradisional dengan metodologi klasiknya jauh-jauh hari telah melakukan operasi hermeneutik bukan hanya sekedar bercorak langue. Dan tidak ada hal baru dari al-Manâr karena yang dilakukannya sebatas pemekaran wilayah teks disertai optimalisasi rasional plus demitologisasi yang cukup berani.
2. Hermeneutika bercorak sosial ala Hasan Hanafi.
Mungkin karena pengaruh filsuf yang melekat pada dirinya, dengan tanpa ragu ia memulai eksperimentasi hermeneutika al-Qur'annya dengan membangun landasan hermeneutis-nya di atas empat pilar, Ushul Fiqh, aspek fenomenologi, Marxisme dan hermeneutika dari tradisi intelektual Barat. Ushul Fiqh ia pandang kompatibel dengan kepentingan hermeneutika pembebasan yang berbicara tentang kebutuhan kaum muslimin dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka. Fenomenologi dianggap sebagai kritik dominasi dan kesadaran penafsir ketimbang makna dari struktur internal teks. Hanafi banyak meminjam instrumen Marxisme terutama dalam dialektika dalam menajamkan kritik terhadap realitas dan pengujian teks pada realitas. Ia pun memandang hermeneutika tidak boleh berarti teori semata, tapi lebih sebagai kontinum dari kritik sejarah dan penafsiran. Gagasan Hanafi dimulai dari analisanya bahwa kita tidak memadai lagi membicarakan al-Qur'an terlepas dari kehidupan umat yang sebagian besar masih berada dalam kondisi keterbelakangan dan penindasan di banyak dunia ketiga. Hanafi berpijak pada historisitas teks dan segala pemahaman terhadapnya. Setiap teks diteropong berdasarkan relasinya dengan realitas dan kepentingan penafsir terhadap realitas tersebut. Dengan kata lain Hanafi lebih senang merumuskan hermeneutika al-Qur'an dengan tujuan-tujuan yang jelas. Pada titik inilah Hanafi berpisah dari beberapa pemikir hermeneutika kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun atau Abu Zayd namun serupa dengan Amina Wadud, seorang feminis Malaysia, Asghar Ali Enginer, teolog pembebasan dari India dan Farid Esack, aktivis anti-Apartheid Afrika Selatan.

Analisa kritis
Karena kuatnya aspek praktis atau keberpihakan dari hermeneutika al-Qur'annya, Hanafi tidak dapat menghindarkan diri dari bahaya ideologisasi teks. Pengetahuan akan historisitas pemahaman atau kaitan antara penafsiran dan kepentingan tidak harus menjerumuskan penafsir pada proses ideologisasi makna. Dalam praktiknya, penafsiran al-Qur'an yang ideologis semacam itulah yang pernah memicu atau paling tidak melegitimasi pertarungan ideologis dalam sejarah umat Islam di masa lalu. Implikasi lain dari watak ideologis tersebut adalah perlakuan yang tidak seimbang antara sintesis-sintesis metodologisnya ketika Hanafi membangun hermeneutika al-Qur'an. Di sana- sini Hanafi menyebutkan akar sejarah hermeneutika-nya dalam ushûl al-fiqh dan asbâb an-Nuzûl, akan tetapi konsep tersebut cenderung lebih merupakan pembenaran pemikirannya [10]. Artinya, menurut hemat kami, penafsiran tipe seperti ini akan ‘‘senasib’’ dengan model tafsir mu'tazilah atau syiah di mana meskipun banyak yang dikonsep untuk menyelesaikan persoalan umat, keduanya berakhir dan terperosok dalam ideologisasi karena lambat laun obyektifitas penafsiran bergeser menjadi ‘‘benteng perjuangan’’.
3. Hermeneutik kontemporer.
Dewasa ini telah banyak pemerhati al-Qur'an yang melakukan kritik historis dan linguistik yang menjadi ciri khas hermeneutika. Tulisan-tulisan yang menyangkut bidang ini banyak bermunculan, baik dari kalanga orientalis maupun dari kalangan umat Islam sendiri. Di antara tulisan-tulisan tersebut misalnya Quranic Hermeneutic: The views of al-Tabari and Ibn Katsir karya Jane Mc Auliffe yang menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit pada horison sosialnya, lalu tulisan Azim Nandji yang membahas tentang teori ta'wil dalam tradisi keilmuan Isma'ili yang banyak membantu dalam kritik sastra, juga Nasr Hamid Abu Zayd yang dengan intensif menggeluti kajian hermeneutik dalam tafsir klasik, dan tidak boleh ditinggalkan dua sarjana muslim kontemporer Fazlurrahman dengan penafsiran double movement-nya dan Mohammed Arkoun dengan lingkaran bahasa-pemikiran-sejarah-nya.
Penafsiran double movement dari Fazlurrahman adalah penafsiran dua arah, yaitu merumuskan visi Qur'an yang utuh dan kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi sekarang. Fazlurrahman sendiri agaknya telah berusaha merealisasikan konsepnya ini dengan menulis sebuah buku tafsir tematik yang diberinya judul Major Themes of The Qur'an. Sementara bagi Arkoun penafsiran yang utuh adalah penafsiran yang melihat keterkaitan dimensi bahasa pemikiran dan sejarah. Untuk menjalankan penafsiran yang hermeneutis ini, bagi Arkoun jalan pertama yang harus ditempuh adalah dengan memilah dan menunjukkan mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutis. Arkoun ingin mengembalikan pemikiran Islam kepada wacana Al-Qur'an seperti sediakala yang terbuka terhadap berbagai pembacaan dan dengan demikian terbuka pula terhadap berbagai pemahaman. Kesulitan yang dirasakan Arkoun dalam proyeknya ini adalah kesulitan bahwa ternyata Al-Qur'an sebagai teks pertama atau peristiwa pertama telah tertimbun sedemikian rupa oleh pemikiran Islam yang berwujud berbagai macam literatur yang merupakan teks-teks kedua atau teks-teks hermeneutis. Timbunan ini sedimikian rupa sehingga menghalangi untuk memaham al-Qur'an dalam keadaannya seperti sediakala.
Untuk mengatasi hal itu Arkoun meminjam metode ‘‘dekonstruksi’’ atau ‘‘pembongkaran’’ Derrida dan juga analisa arkeologis yang dipakai dalam ilmu mengenai benda-benda purbakala. Dengan analisis arkeologis ini diupayakan satu klarifikasi historis (al-Idzahah at-Tarikhiah) terhadap teks-teks hermeneutis dari tradisi pemikiran tertentu yaitu memperjelasnya dengan membersihkan debu, ruang dan waktu yang menyelubunginya sehingga akan terlihat hubungan antara teks-teks dari fase sejarah tertentu dengan konteks sosial, generasi serta gerakan-gerakan pemikiran yang beragam dan berada dalam waktu yang sama. Di samping menunjukkan adanya pemikiran dengan sejarah, Arkoun juga menunjukkan adanya hubungan yang tidak terpisahkan antara pemikiran dan bahasa. Setiap pemikiran keislaman disamping merupakan cermin dari pergumulan realitas sosio historis pada titik sejarah tertentu, juga terumuskan, terkonsepsikan dan terungkapkan dalam bahasa tertentu. Sementara itu berkait dengan penafsiran yang dengan intensif mengolah pemahaman terhadap teks, bisa dicatat nama Toshihiko Izutsu dan 'Aisyah Abdurrahman binti Syati'. Toshihiko Izutsu dengan bukunya Ethico Religius Concept in The Qur'an berusaha menerapkan metode semantik dalam mengolah teks al-Qur'an. Metode ini dilakukan dengan studi analisis terhadap perspektif yang terkristalkan dalam kata-kata. Dengan demikian penafsiran al-Qur'an harus bertumpu pada kosa katanya baik individual maupun secara rasional dalam jaring atau struktur tertentu. Analisis pengungkapan makna ini diorientasikan untuk memperoleh gambaran pandangan dunia al-Qur'an. Hal serupa dilakukan dan 'Aisyah Abdurrahman binti Syati' dengan kitab tafsirnya yang berjudul At-Tafsir al-Bayni li al-Qur'an al-Karim. Tafsir ini pada dasarnya merealisasikan ide suaminya, Amin Khuli berkenaan dengan penafsiran al-Qur'an yang berupaya melakukan eksplorasi linguistik sekaligus melacak kronologi pewahyuan tema-tema yang dibahas dan didukung riwayat-riwayat yang berkaitan. Ini dimaksudkan untuk memahami konteksnya.
Apa yang dilakukan oleh Rahman, Arkoun, Toshihiko Izutsu, 'Aisyah Abdurrahman binti Syati' juga Abu Zayd adalah contoh-contoh bagaimana mengolah al-Qur'an dengan alat-alat hermeneutika. Hermeneutika sebagaimana disinggung di atas merupakan metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa yang kemudian melangkah pada analisa psikologis, historis dan sosiologis. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur'an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur'an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsiran yang bercorak hermeneutik ini, termasuk penafsiran al-Qur'an yaitu :
1. Para penafsir itu adalah manusia, dengan asumsi ini diharapkan bisa dimengerti bahwasanya manusia tidak akan bisa melepaskan diri dari ikatan historis kehidupan dan pengalaman yang tentunya sedikit banyak akan membawa pengaruh dan mewarnai corak penafsirannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada vonis ‘‘mutlak’’ benar atau salah kepada suatu penafsiran, serta semakin mengarah untuk melakukan analisa kritis terhadap suatu penafsiran.
2. Penafsiran tidak dapat dilepaskan dari bahasa, sejarah dan tradisi, segala aktifitas penafsiran pada dasarnya merupakan satu partisipasi dalam proses historis-linguistik dan tradisi yang berlaku, dimana partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Pergulatan umat Islam dengan Al-Qur'an juga berada dalam kurungan ini. Seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari bahasa, budaya, dan tradisi dimana mereka hidup. Para pemikir reformis sering menyatakan bahwasanya krisis yang terjadi dalam dunia Islam serta ketidakmampuan umat Islam untuk memberikan satu kontribusi yang berguna bagi dunia kontemporer adalah dikarenakan tradisi. Jalan keluar yang dianjurkan oleh para reformis itu seringkali adalah dengan meninggalkan ikatan tradisi dan kembali kepada Al-Qur'an. Pernyataan tersebut sebenarnya tidak selaras dengan fakta bahwasanya satu penafsiran itu tidak bisa sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi pasti berkaitan dengan muatan historisnya.
3. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri, nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuan Al-Qur'an itu tampak dalam isi, bentuk, tujuan dan bahasa yang dipakai Al-Qur'an. Hal ini tampak pula misalnya dalam pembedaan antara ayat-ayat makiyah dan ayat-ayat madaniyah. Dalam hubungannya dengan proses pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi, serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya di sisi yang lain, Al-Qur'an tidaklah unik. Wahyu selalu saja merupakan komentar terhadap satu kondisi masyarakat tertentu.
Patut diperhatikan bahwasannya Al-Qur'an dalam perspektif hermeneutika ini lebih dipahami dalam dimensi relasi onalnya dari pada sebagai satu fenomena atau kategori keagamaan yang absolut. Sebagaimana William A. Graham dalam tulisannya Approaches to Islam in religious Studies, esack berpendapat bahwasannya pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwasanya kitab suci itu tidak hanya sekedar teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan, yakni berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat-masyarakat yang menganggapnya sakral dan normatif [11].

Tekstualitas dan Historisitas Al-Qur'an Menuju Hemeneutika Abû Zayd
Imanensi dan transendensi Al-Qur'an ditunjukkan Abu Zayd melalui penjelasanya tentang tekstualitas dan historisitas Al-Qur'an. Menurut Abu Zayd, tekstualitas Al-Qur'an dapat dijelaskan melalui tiga hal. Pertama, Al-Qur'an adalah pesan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui kode komunikasi bahasa Arab via Jibril. Sebagai pesan, Al-Qur'an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah teks. Kedua, urutan-urutan Al-Qur'an yang ada di tangan kita sekarang tidak sama dengan kronologi pewahyuan (tartîb al-nuzûl). Urutan kronologis pewahyuan menunjukkan sifat realistik teks, sementara struktur kronologi pembacaan (tartib al-tilawah) yang ada sekarang menunjukkan tekstualitasnya. Ketiga, adanya kenyataan bahwa Al-Qur'an terdiri dari ayat-ayat muhkamât yang menjadi ‘inti’ teks, dan ayat mutasyâbihât yang harus dipahami berdasar ayat-ayat muhkamât itu.
Dengan menegaskan tekstualitas Al-Qur'an, Abu Zayd hendak mengaitkan kembali kajian ilmu Al-Qur'an dengan konteks studi kritik sastra. Artinya, layaknya teks-teks lain, Al-Qur'an mungkin didekati dengan pelbagai perangkat kajian tekstual modern. Sebagaimana dikatakan Abu Zayd, Al-Qur'an adalah teks bahasa (nash lughawiy) yang bisa digambarkan sebagai teks sentral (nash mihwariy) dalam peradaban Arab. Jika demikian, mendudukkannya sebagai teks historis tidak berarti mereduksi keilahiannya. Justru historisitas tekslah yang menjadikan Al-Qur'an sebagai subjek pemahaman dan ta'wîl. Dengan demikian, analisis sosio historis diperlukan dalam proses pemahaman Al-Qur'an, dan pemanfaatan metodologi linguistik modern menjadi sesuatu yang niscaya dalam praktik ta'wîl. Di sinilah arti penting tekstualitas dan historisitas Al-Qur'an. Mengabaikan tekstualitas Al-Qur'an hanya akan mengarahkan pada pembekuan makna pesan. Ketika makna pesan dibekukan, maka ia akan sangat gampang dilacurkan pada arah dan kepentingan ideologis sang pembaca. Di sisi lain, mengabaikan historitas Al-Qur'an akan berdampak pada tercerabutnya makna Al-Qur'an dari konteks yang melingkupinya. Inilah yang kerap dilakukan kalangan konservatif dalam pembacaan Al-Qur'an. Mereka, mengutip Asma Barlas (2003), intelektual eksil asal Pakistan, gemar melakukan “decontextualize the Qur’an teaching by dehistoricizing the Qur’an itself because of a particular view of time.”
Lepasnya pesan-pesan Al-Qur'an dari konteks yang mengitari, konteks historis pembacanya, ditambah abainya sang pembaca terhadap “maksud tekstual” sebuah teks, bisa berdampak pada kesewenangan dalam mamahami teks. “Maksud tekstual” di sini adalah visualisasi yang tergelar dalam struktur linguistik bahasa tersebut. Dengan menampik maksud tekstual dan struktur ekstratekstual sebuah teks, pembaca atau interpreter akan terjatuh pada apa yang disebut Abu Zayd sebagai pembacaan ideologis-tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah) atas teks. Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini pada akhirnya melahirkan apa yang disebut Khaled Abou el-Fadl sebagai “hermeneutika otoriter” (authoritarian hermeneutic). Bagi Abou el-Fadl, hermeneutika otoriter terjadi ketika mekanisme pencarian makna teks terampas dan ditundukkan dari teks ke dalam pembacaan yang subjektif dan selektif. Subjektifitas dan selektifitas yang dipaksakan dengan mengabaikan maksud tekstual dan realitas ekstratekstual teks inilah yang menjadikan teks diombang-ambing sesuai selera pembaca. Model pembacaan semacam ini patut ditolak. Dan Abu Zayd adalah salah satu pemikir yang paling lantang meneriakkan penolakannya.
Karena itu, di samping memperhatikan jalinan intertekstualitas teks Al-Qur'an dalam pelbagai dimensinya, yang tak kalah penting adalah mengamati faktor ekstratekstualitas teks, termasuk di dalamnya ragam konteks yang mengitarinya, tidak saja konteks seputar penurunan wahyu, termasuk konteks pada saat teks itu menyejarah dan dibaca masyarakat di sepanjang waktu dan segala ruang. Meminjam tiga langkah hermeneutik Barlas, setidaknya ada tiga langkah yang patut dilakukan ketika membaca Al-Qur'an: 1) membaca Al-Qur'an sebagai teks (to read the Qur’an as text), yaitu membaca dalam kerangka menangkap dan mengungkap maksud Tuhan; 2) membaca apa yang ada di balik teks (to read behind text), yaitu merekonstruksi konteks historis di mana teks itu lahir; dan 3) membaca apa yang ada di hadapan teks (to read in front of text), yaitu rekontekstualisasi pesan-pesan teks dalam konteks kebutuhan saat ini [12].
Analisa kritis
Sintesa-sintesa serta horison-horison (meminjam istilah Gadamer) dalam model hermeneutika kontemporer cukup representatif untuk ukuran metodologi penafsiran al-Qur'an. Namun perlu digarisbawahi, pemikir kontemporer melakukan banyak “lompatan indisipliner” dalam operasi hermeneutik-nya. Terutama ketika sampai dalam tataran rekonstruksi historis serta kontekstualisasinya di tengah kebutuhan hidup umat. Kami rasa hal ini bisa dimaklumi dari dua aspek :
1. Keterpautan historis yang membatasi teropong analisa historis dalam operasi hermeneutika mereka. Meskipun Arkoun memperkenalkan metode ‘‘dekonstruksi’’ atau ‘‘pembongkaran’’ Derrida dan juga analisa arkeologis sebagai upaya klarifikasi historis (al-Idzahah at-Tarikhiah) terhadap teks-teks hermeneutis dari tradisi pemikiran tertentu, atau kita rujuk ‘‘ideologi’’ bahwa keterpautan historis bukan penghalang operasi hermeneutik, akan tetapi kita harus ‘jujur’, karena banyak ‘kekayaan historis’ yang tertimbun, sehingga perlu kiranya direnungkan bahwa aspek historis penafsiran kontemporer tidak ‘‘setajam’’ penafsiran klasik hasil karya Salaf as-Shâlih.
2. Metodologi umum hermeneutik kontemporer meskipun dicirikan ‘‘berbeda’’ dengan dibuat sedikit ‘‘kebarat-baratan’’ tetap dalam tataran ‘semakna’ dengan aspek kajian dalam tafsir klasik. Modifikasi hanya terlihat dari kontekstualisasi, upaya pembebasan kreatifitas serta rasionalisasi lebih terbuka dalam kegiatan penafsiran al-Qur'an baik dari penafsir ataupun pembaca. Sebab inilah, sikap ‘‘menutup mata’’ pada obyektifitas tafsir klasik sekaligus keberanian ber‘logika’ seolah menjadi ciri khas, sebab keyakinan hermeneutik mereka mengatakan ‘inilah ijtihad’ yang sebenarnya. Terlihat lebih ‘kentara’ ketika tidak didasari balance antara modal intelektual dan nafsu ber‘hermeneutik’. Perhatikan sampel berikut;

Menurut DR. Lukman S. Thahir MA perlu adanya sebuah reobservasi terhadap histori yang mengitari turunnya nash, karakter antropologis si penanya, psikologis dan sosiologis. Contohnya : Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ;

‘‘Saya (Abdullah bin Mas’ud) bertanya kepada Rasulullah Saw. ‘Amal apakah yang lebih disukai oleh Allah?’ Beliau menjawab: ‘Shalat pada waktunya’. Dia (Ibnu Mas’ud) bertanya lagi : ‘kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Dia (Ibnu Mas’ud) bertanya lagi : ‘kemudian apa lagi’ Beliau menjawab : ‘Jihad dijalan Allah.’ Ibnu Mas’ud berkata bahwa Nabi telah mengatakan kepada saya amal-amal yang utama itu; dan sekiranya saya minta untuk ditambah lagi kepada beliau (tentang amal yang utama itu), niscaya beliau akan menambahnya lagi (untuk memenuhi permintaan saya itu).’’
Dalam menginterpretasikan matan hadits ini–termasuk juga matan-matan hadits lainnya yang juga menjelaskan amalan-amalan yang utama–Dr. Lukman Thahir, MA. menyatakan, bahwa jawaban yang diberikan Nabi atas pertanyaan Abdullah bin Mas’ud diatas tidak terlepas dari sifat dan karakter antropologis si penanya. Sebagaimana diketahui, bahwa di Madinah, Abdullah bin Mas’ud tinggal di belakang Masjid Nabawi (the great mosque). Karena itu ia sering lalu lalang di rumah Nabi bersama ibunya sehingga orang yang tidak mengenalnya berpikir bahwa mereka adalah anggota keluarga Nabi, padahal dia adalah pelayan terpercaya Nabi yang sering tidur (the slipper). Meskipun demikian, dia termasuk orang yang kuat daya ingatnya dan orang yang paling pertama berani membacakan ayat al-Quran secara terang-terangan dihadapan orang-orang kafir Quraisy.
Atas dasar konteks historis ini, maka makna matan hadits ini dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, matan hadits ini tidak bersifat umum, tetapi bersifat khusus atau temporal, yaitu mengindikasikan karakter psikis antropologis Abdullah bin Mas’ud saat itu, yang bertempat tinggal dekat dengan Masjid dan tukang tidur, tetapi malas dan jarang shalat tepat waktu. Karena itu, ketika dia menanyakan amalan apa yang paling utama, maka berdasarkan pengalaman hidup yang dilihatnya pada pelayannya yang terpercaya itu, Rasulullah mengatakan bahwa amalan yang paling utama adalah ‘‘shalat tepat waktu’’. Dengan demikian, shalat yang menjadi amalan utama pada matan hadits ini, konteksnya hanya berlaku khusus buat Abdullah bin Mas’ud yang malas shalat tepat pada waktunya, bukan berlaku secara universal. Dengan kata lain, bisa saja amalan utama itu bukan shalat, jika yang bertanya bukan dan tidak memiliki karakter seperti Abdullah bin Mas’ud. Atas dasar pemahaman seperti ini, kita dapat mengerti, mengapa pertanyaan yang redaksinya sama, tetapi jawabannya berbeda-beda. Kedua, matan hadits ini tidak hanya mengindikasikan karakter antropologis si penanya, namun juga menggambarkan watak psikis Nabi (sebagai majikan) yang selalu peka terhadap perbaikan moralitas umatnya. Tanggung jawab moral ini dilakukan Nabi, bukan tanpa pertimbangan dan perhitungan. Ia tahu benar bahwa Abdullah bin Mas’ud, suka tidur, malas, dan tidak tahu waktu. Itulah sebabnya, mengapa Nabi ketika ditanya mengenai amalan utama, ia menyatakan ‘‘al-shalat fi al-waqtiha’’ (shalat pada waktunya).[13]
Dapat dimengerti, jika pemahaman hadits di atas tidak dengan menggunakan pendekatan historis, antropologis obyek, psikologis, dan sosiologis, maka konsek-wensinya akan terjadi kontradiksi atau antagonisme antara hadits di atas dengan hadits-hadits lain yang menerangkan tentang keutamaan amalan, seperti: 1) Amal yang paling baik adalah membaca al-Quran sepanjang waktu; 2) Amal yang paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya; 3) Amal yang paling utama adalah menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia; 4) Amal yang paling baik adalah memberikan makan kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada siapa saja; dll.

Telaah hadits di atas membuktikan betapa nafsu ber‘hermeneutik’ kurang diimbangi dengan modal intelektual, disertai sikap apriori pada obyektifitas tafsir klasik. Padahal jauh-jauh hari penafsir-penafsir klasik, semacam Abd ar-Rauf al-Munâwi telah menjelaskan penafsiran serupa dengan pendekatan historis, antropologis obyek, psikologis, dan sosiologis lebih valid (baca Faydh al-Qadîr, juz. II hlm. 25-28 Cet. Dar El-Fikr).
Sampel kedua, tentang hermeneutika ayat-ayat perang :

Seraya mengelus-elus jenggotnya, Amrozi tersenyum manis menunjukkan ekspresi wajah tanpa dosa (cool calm, and over confident), ketika dia disidang dalam tragedi bom Legian-Bali, yang telah menewaskan sekitar 200 orang. Selama ini Amrozi dikenal sebagai the smiling suspect, sehingga membuat jengkel keluarga-keluarga korban. Yang ia bayangkan adalah surga yang dipenuhi bidadari cantik nan telanjang sebagai imbalan ‘memberantas kemaksiatan’ itu. Keyakinan bahwa apa yang ia lakukan merupakan jihad sekedar menguatkan pendapat bahwa terminologi jihad memang multi interpretable. Menurut J Habermas “Language is also a medium of domination and power”. Bahasa secara sepintas terlihat sebagai alat komunikasi yang bebas nilai dan hampa tendensi. Namun sebenarnya ia bukan hanya sekedar sistem tanda. Ia juga bisa berubah menjadi instrumen senjata politik akibat pemberian makna sepihak yang tercerabut dari makna ‘dasar’nya.
Selain kata jihad, dalam bahasa Arab dikenal juga kata qital: peperangan secara fisik, kata harb: perang diplomatis, kata ghazwah: ekspedisi militer yang dipimpin langsung Nabi, sariyah: perang yang dipimpin sahabat yang diangkat Nabi, qahr: penaklukan dan fath: pembebasan (Rumadi, 2002:61-67 dan N. Madjid, 2000: 233).
Ayat-ayat perang sudah mendarah daging ke dalam bawah sadar fundamentalis, termasuk ayat yang dikutip secara tak utuh oleh Usamah bin Ladin (Tim Penerjemah Ababil Press, 2001:42): “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka” (Muhammad:4). Sedangkan hadis-hadis yang sahih dan terpercaya di antaranya tentang: Balasan bagi syahid adalah bidadari cantik, permata dan surga (Ahmad dan al-Turmudzi); Teguran Jibril terhadap Nabi untuk kembali mengangkat pedang dalam perang Ahzab (Bukhari).
Dalam kenyataannya, ayat-ayat perang meski bernuansa universal, tetapi ditulis untuk sekelompok pendengar di masa lampau (in illo tempore). Karena itulah, pemeluk agama apapun hendaknya bisa menangkap mana nilai-nilai universal dari perintah jihad dan perang. Untuk memudahkan pengkategorian dan kronologi ayat-ayat perang, periodeisasi ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah bisa membantu dalam menangkap makna ayat-ayat tersebut. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat Makiyyah bersifat universal dan merupakan bentuk revolusi teologis (seperti: penumpasan berhala, paham-paham politeis dan antroposentris). Sedangkan ayat Madaniyah bernuansa sangat kontekstual dan lebih pada revolusi sosiologis.

Hermeneutik yang digagas dalam ayat-ayat jihad adalah contoh dominasi ‘logika’ dalam perspektif kemanusiaan. Isu HAM dimunculkan ke permukaan sebagai rekontekstualisasi pesan-pesan teks kepada masyarakat (pembaca). Aplikasi pendekatan historis, antropologis obyek, psikologis, dan sosiologis juga terlihat di sini. Dengan maksud mewacanakan ‘jihad’ sebagai sebuah perintah sudah tidak relevan di sodorkan di tengah peradaban modern. Ironis, di saat HAM sendiri masih diperdebatkan plus standar ganda dunia barat, pendekatan dalam aspek-aspek di atas bisa dikatakan ‘timpang’ karena dikuranginya beberapa makna substansial yang terkandung dalam teks.

Penafsiran Ideal Di Masa Kekinian
Gagasan penafsiran sistematis dengan media hermeneutika sedikit banyak mengalami problem terminologis maupun metodologis. Masalah-masalah seputar konstruksi, aplikasi dan kontekstualisasi belum sepenuhnya terselesaikan. Kondisi seperti ini mengajak kita berpikir keras untuk mencapai kata sepakat dalam upaya melengkapi atau bahkan melahirkan penafsiran sistematis produktif di masa kekinian.
Di sisi lain, penafsiran klasik yang divonis ‘‘usang’’ juga tidak selalu ‘kaku’ sehingga selalu stagnan. Aspek pendekatan penafsiran klasik masih ‘‘membuka diri’’ untuk dijajal dalam pelbagai persoalan umat.
Kami lebih sepakat untuk mengembangkan dunia penafsiran al-Qur'an bernuansa kombinatif, dengan filsafat ‘‘Al-Muhafadzah ala al-Qadîm as-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah’’. Karena substansi hermeneutika ada dalam operasi penafsiran al-Qur'an, tidak dalam definisi, alangkah lebih baik jika istilah ini sedikit kita reduksi, kita sinergikan dengan metodologi tafsir klasik. Tentunya dengan mempreteli aspek pendekatan hermeneutika yang cenderung destruktif dan heretic. Karena kami rasa, mengeliminasi hermeneutika secara totalitas mustahil dilakukan, kecuali sebatas terminologi saja.


Lirboyo, 30 Juni 2005 M


Ustadz Dar El Azka
Rois LBM-PPL

Disampaikan dalam
Halaqah FKP-Mlangi Jogjakarta Sesi Ke dua Bersama Prof Dr. Mahasin (Rektor UIN Sunan Kalijaga), M. Muqshid Ghozali (Pimpinan JIL), Ja'far Umar Tholib (Pimpinan Laskar Jihad)
[1]. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menyampaikan pesan dewa kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki ber-sayap, dan populer dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menginterpretasikan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia.
[2]. Fakhruddin Faiz Hermeneutika Qur'ani, Cet. Qalam hlm. 20-22
[3]. Ibid, hlm. 22-40
[4]. Ilham B. Saenong Hermeneutika Pembebasan Cet. Teraju hlm. 31-44
[5]. Fakhruddin Faiz Hermeneutika Qur'ani, Cet. Qalam hlm.. 41-44
[6]. Ilham B. Saenong Hermeneutika Pembebasan Cet. Teraju hlm. 47
[7]. Ibid, hlm. 50
[8]. Ibid, hlm. 56-62
[9]. Langue dan parole adalah istilah-istilah yang dikenal dalam disiplin semiotoka. Istilah ini dikenalkan pertama kali oleh Ferdinand de Saussure.
[10]. Ilham B. Saenong Hermeneutika Pembebasan Cet. Teraju hlm. 190-191
[11]. Fakhruddin Faiz Hermeneutika Qur'ani, Cet. Qalam hlm.. 44-49
[12]. Ahmad Fawaid Syadzili, Memanusiakan Al-Qur'an, Marhaban Abu Zayd http//islamlib.com/id 30/08/2004
[13] DR. Lukman S. Thahir, MA. Studi Islam Interdisipliner. Cet. Qirtas, hlm. 13.