Mbangkong (Kritik dan Metodologi?)

oleh: Dar el Azka

Modernisasi menuntut perkembangan masyarakat yang kian dinamis. Meskipun nampak mengalir searus dengan beragam nilai-nilai normatif-religius masyarakat, namun realitanya justru memiliki perwajahan ‘antagonis’ yang cukup mencolok. Modernisasi menciptakan karakteristik duniawi sedangkan nilai normatif-religius menggugah manusia dari mimpi duniawinya menuju pemaknaan dunia sebagai 'mazra'ah al-akhirah'.

Seorang muslim di tengah aktifitas hariannya selalu dituntut untuk menjadi sosok yang seimbang dalam setting pribadi sosial-religi-nya. Namun kembali modernitas dan pembelokan orientasi hidup mengakibatkan minimnya transformasi ilmu agama dan mulai mengendurnya konsistensi (istiqamah) amaliah. Shalat lima waktu dipahami sebagai kebutuhan rohani penyeimbang aktifitas duniawi yang sarat dengan kepenatan dan beban pikiran. Beban duniawi seolah-olah berubah nilai menjadi kebutuhan 'dzaruriyyat' yang bukan saja melegalkan pelanggaran larangan agama namun juga mampu menggeser nilai-nilai. Pekerjaan harian dan kebutuhan-kebutuhan lain dianggap lebih penting dari sebuah konsistensi beribadah. Kebiasaan meninggalkan shalat dan melewatkan waktu shalat lantaran kesibukan duniawi menjadi lazim dan dianggap sebagai warna hidup jaman sekarang. 'Budaya mbangkong' termasuk salah satu yang menjamur, menjadi ekses kemerosotan nilai agama masyarakat modern. Bangun tidur karena mendengar alarm jam kerja dan jam sekolah lebih lazim dari pada bangun tidur karena suara adzan, panggilan shalat lima waktu.

Eksistensi Shalat Dalam Syariat

Islam menegaskan, edukasi pertama yang wajib ditransformasikan orang tua kepada anak-anaknya adalah kewajiban sholat lima waktu. Sabda Nabi saw dalam HR. Abu Dawud :
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ


"Perintahkan anak-anak kalian semua untuk melakukan sholat, saat usia mereka (genap) tujuh tahun.Dan pukullah mereka, atas keteledoran (melalaikan sholat) saat mereka berumur sepuluh tahun"

Sedini mungkin seorang anak harus mulai dididik berdisiplin dalam ibadah, dengan tujuan agar mereka terlatih serta serta konsisten melakukan amalan-amalan baik dalam hidupnya.


. Orang tua wajib berperan mentransformasikan pengertian tentang pentingnya ibadah sholat bagi anak-anaknya. Tentunya dengan metode edukasi yang mudah dipahami, serta dimengerti oleh mereka.
Sholat lima waktu merupakan ritualitas penting dalam upaya menkonstruks mental spiritual. Tercover melalui sabda Nabi Muhammad saw dalam kitab Isyad al-'Ibad :

مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهَرٍ جَارٍ عَذْبٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ

يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ فَمَا يَبْقىَ ذَلِكَ ِمنَ الدَّنَسِ؟


"Perumpamaan sholat lima waktu adalah ibarat sungai tawar yang mengalir melewati pintu-pintu rumah kalian, dimana (air sungai itu) kalian pergunakan mandi lima kali dalam setiap harinya. Apakah masih ada sisa kotoran (yang melekat) ?"
Satu lagi, shalat dalam konteks amaliah menjadi parameter penilaian untung-rugi saat pertanggungjawaban amal dituntut kelak di akhirat. Sabda Nabi Muhammad r dalam HR. Turmudzi:


إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ



"Sesungguhnya amal pertama yang akan dihisab dari seorang hamba kelak di hari kiamat adalah Sholatnya. Ketika baik sholatnya, maka sungguh dia akan beruntung dan selamat, namun jika buruk sholatnya, maka sungguh ia memperoleh sesuatu yang sia-sia dan merugi..."

Perspektif Fiqh-Ushul Fiqh

Term hukum syar'i didefinisikan dalam disiplin ilmu ushul sebagai kalam azali Allah swt (khitab) yang mengikat setiap perbuatan, ucapan dan keyakinan seorang mukallaf (baligh, berakal, mendapatkan dakwah Islam, dan memenuhi kualifikasi sebagai obyek khitab) baik berbentuk tuntutan (al-iqtidla'), pilihan (at-takhyir) maupun yang terkait dengan secara wadl'i (sabab, syarat dan mani'). Representasi nyata dari khitab berbentuk sumber-sumber hukum syariat, yakni al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijma', al-Qiyas dan lain-lain. Untuk khitab yang berbentuk tuntutan (al-iqtidla') dan pilihan (at-takhyir) dikenalkan dengan istilah khitab taklifiy, dan yang berbentuk sabab, syarat dan mani' dikenalkan dengan istilah khitab wadl'i, yakni segala hal yang ditetapkan syariat sebagai petunjuk terealisasinya khitab taklifiy. Seperti halnya kewajiban melaksanakan ibadah shalat dzuhur merupakan contoh sebuah khitab taklifiy yang akan terealisasi melalui petunjuk sabab berupa zawal as-syams (tergelincirnya matahari) berdasarkan firman Alloh swt;
أَقِمْ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ

"Dirikanlah shalat ketika tergelincirnya matahari"


Dengan demikian permulaan khitab taklifiy berupa kewajiban shalat dzuhur dimulai semenjak wujudnya sabab berupa tergelincirnya matahari. Dalam kata lain, tergelincirnya matahari sebagai sabab berperan sebagai petunjuk terealisasinya kewajiban shalat dzuhur sebagai khitab taklifiy.
Korelasi antara khitab dan aktifitas mukallaf ada kalanya bersifat tanjizi, yakni setelah mukallaf terwujud nyata dan setelah datangnya syariat. Dan adakalanya juga bersifat maknawi, yakni sebelum mukallaf terwujud nyata atau belum memenuhi kualifikasi taklif. Dalam arti, ketika seorang dari keadaan belum mukallaf berubah menjadi mukallaf (memenuhi ketentuan taklif), maka dirinya akan terikat dengan khitab secara tanjizi. Dari sini dapat difahami bahwa seseorang dalam keadaan tidurnya menjadi obyek khitab secara maknawi. Hanya saja karena tidur relatif mudah disadarkan, sehingga tidak sampai menafikan kelayakannya menerima khitab dan bahkan diposisikan seolah terikat secara tanjizi.
Di sisi lain, ushul fiqh mengenalkan istilah taklif sebagai penetapan wajib (dilakukan maupun ditinggalkan) atas sesuatu yang didalamnya memiliki nilai kulfah (kesulitan). Dengan arti, hal-hal yang bersifat wajib dan haram saja yang menjadi bagian dari pemahaman taklif, sedangkan sunnah, makruh maupun mubah bukanlah jenis taklif. Versi lain mendefinisikan taklif dengan makna tuntutan (at-thalab) atas sesuatu yang didalamnya memiliki nilai kulfah (kesulitan). Sehingga semua yang memiliki nilai at-thalab, sebagaimana wajib, haram, sunnah dan makruh merupakan jenis taklif. Obyek taklif adalah mukallaf, dimana realisasinya memerlukan beberapa ketentuan, yakni;
* Hidup, sehingga orang mati bukanlah obyek taklif.
* Dari golongan manusia, jin dan malaikat, bukan hewan dan benda mati.
* Baligh, sehingga anak kecil bukanlah mukallaf.
* Berakal, dan orang gila bukan mukallaf secara ijma'.
* Faham atas khitab, dalam hal ini orang yang dalam keadaan tidur, lupa atau mabuk bukanlah obyek taklif.
* Melakukan berdasarkan ikhtiyar (kehendak sendiri), sehingga seorang mulja' atau mereka yang tidak memiliki pilihan menghindar, sebagaimana orang yang jatuh dari tempat tinggi. Kesadaran (al-ilm) obyek khitab tentang eksistensi dirinya sebagai orang yang dituntut.

Hubungan antara taklif dan khitab erat keterkaitannya, terutama dalam konteks realisasi khitab taklifiy. Dalam pemahaman, setiap obyek taklif yang telah memenuhi tujuh ketentuan di atas, maka dia layak disebut sebagai obyek khitab taklifiy. Dan jika ada salah satu saja dari tujuh ketentuan itu tidak terpenuhi, maka seseorang dinilai tidak memenuhi kualifikasi sebagai obyek khitab taklifiy.
Nalar seputar penjelasan khitab dan taklif inilah yang diusung Ar-Rafi'i dalam menjawab persoalan tidur sebelum masuk waktu shalat, baik shalat lima waktu maupun shalat jum'at. Statement tegas beliau menyatakan bahwa seseorang diperbolehkan tidur sebelum masuk waktu secara mutlak, meskipun dirinya yakin tidak mungkin tersadar sebelum waktu habis atau bermotif meninggalkan shalat pada waktunya. Dalam hal ini, menurut A-Rafi'iy, khitab taklifiy mutlak tidak berlaku. Karena meskipun kondisi pelaku (orang yang akan tidur) dalam keadaan sadar dan memenuhi kualifikasi taklif, namun dari perspektif khitab wadl'i penetapan kewajiban shalat belum bisa direalisasikan disebabkan belum wujudnya sabab yang berupa tergelincirnya matahari sebagai permulaan waktu pemberlakuan khitab taklifiy. Dari sinilah Ar-Rafi'iy menyimpulkan bahwa seseorang yang sadar, sebelum masuk waktu shalat (wujudnya sabab) bukanlah obyek talklif juga bukan obyek khitab (al-mukhatab). Sehingga apapun yang dilakukannya, tidak mungkin terikat dengan hukum larangan meninggalkan shalat.
Secara kontradiktif, mayoritas ulama mengkaji masalah di atas melalui nalar analogi. Mengikuti penjelasan dalam permasalahan shalat Jum'at, bahwa mereka yang bermukim jauh dari lokasi pelaksanaan shalat Jum'at dan hanya mampu menjangkaunya jika mereka berangkat sebelum fajar, maka mereka wajib melakukannya, meskipun saat itu sabab kewajiban shalat Jum'at berupa terbitnya fajar belum wujud. Dari hukum asal ini (al-maqis alaih) ulama menganalogikan permasalahan tidur sebelum masuknya waktu shalat lima waktu. Mereka mengatakan, haram hukumnya seseorang tidur sebelum waktu di saat dirinya yakin atau menduga tidak mungkin tersadar sebelum habisnya waktu (akhir waktu yang tersisa cukup untuk melaksanakan wudlu dan shalat). Sedangkan ketika seseorang yakin atau menduga bisa tersadar sebelum waktu habis, maka menurut Syaikh al-Bashri hukumnya diperbolehkan tidur sebelum waktu, dan menurut As-Syibra Malisi mengikuti telaah Al-Isnawi menyatakan makruh. Hukum makruh ini berargumentasi melalui kaidah 'al-khuruj min al-khilaf mustahabbah' (bersikap menengahi perbedaan ulama adalah dianjurkan).
Berikutnya, perspektif ushul fiqh juga mengenalkan konsep bahwasanya setiap jenis kewajiban al-muwassa' sebagaimana shalat, waktu yang berada di antara permulaan sampai dengan akhir waktu (waktu jawaz, bukan waktu dzarurah dan hurmah) adalah waktu ada', yakni waktu yang diperbolehkan dalam rangka pelaksanaan kewajiban shalat. Setiap bagian dari waktu jawaz bisa disebut sebagai waktu ada'-nya. Sehingga seseorang hanya memiliki dua pilihan, antara mengerjakan di awal waktu atau mengakhirkannya sampai batas waktu jawaz, namun harus disertai 'azm (tekad kuat) melaksanakannya di dalam waktu. Inilah yang disebut dengan 'azm khash. Dan bagi mereka yang mengakhirkan dari awal waktu harus memiliki keyakinan atau dugaan kuat mampu melaksanakannya di dalam waktu. Seseorang yang tidak memiliki keyakinan atau dugaan kuat mampu melaksanakannya di dalam waktu, baginya dibenani dua macam dosa apabila akhirnya dia terbukti melaksanakannya di luar waktu, dosa pertama dikarenakan mengakhirkan shalat tanpa alasan kuat, dosa kedua adalah dosa meninggalkan shalat.

Berdasarkan konsep di atas, mayoritas ulama menyepakati permasalahan seseorang yang sengaja tidur setelah masuk waktu shalat, dimana hukumnya ditetapkan haram disaat yakin atau menduga tidak mungkin tersadar sebelum habisnya waktu jawaz dan makruh yakin atau menduga bisa tersadar sebelum waktu jawaz habis.

Analisa Progresif Antara Teks Dan Konteks

As-Syaikh Muhammad as-Syaathiri dalam al-Yaqut an-Nafis mencoba mengkaji permasalahan di atas melalui pendekatan karakter antropologis dan psikologis manusia yang menjalankannya. Statement beliau, budaya 'begadang' di malam hari yang dijalankan sebagai rutinitas sehingga menyebabkan tertidur, baik sebelum maupun setelah waktu shalat dan berakibat terbengkalainya ibadah shalat tidak bisa distatuskan udzur. Karena tidur yang bisa dijadikan udzur mengakhirkan shalat dari waktunya haruslah berbentuk ghair at-ta'addy atau tidak berawal dari tindakan ceroboh.
Dari statement di atas, bahasa 'rutinitas' atau membiasakan begadang merupakan faktor eksternal (amrin khariji) yang akhirnya eksistensinya dinilai setingkat dengan kecerobohan lain seperti kesengajaan tidur di saat seseorang yakin tidak mungkin tersadar sebelum waktu shalat habis. Dari sini, aspek karakter antropologis seseorang menjadi faktor penting dalam menentukan penilaian hukum. Di saat yang lain beragam faktor eksternal bisa jadi melingkupi permasalahan seperti ini. Sebagai contoh kecenderungan pelaku menganggap remeh persoalan agama (tahawwun bi ad-dien) atau bahkan melecehkan hukum agama (al-istihza') dan lain sebagainya.
Bukan sesuatu yang mustahil dua kutub pemikiran ar-Rafi'iy dan Aktsar al-Ulama mempertimbangkan sisi antropologis, psikologis atau bahkan sosiologis dari umat pada masa mereka masing-masing. Korelasi antara teks dan konteks dalam upaya menjawab persoalan umat bisa kita saksikan dalam beberapa contoh dan statement ulama, di antaranya;
1. Statemen Al-Qarrafi :
إِنَّ التَّكْلِيفَ مَشْرُوطٌ بِالْإِمْكَانِ وَإِذَا جَازَ نَصْبُ الشُّهُودِ فَسَقَةً لِأَجْلِ عُمُومِ الْفَسَادِ

جَازَ التَّوَسُّعُ فِي الْأَحْكَامِ السِّيَاسِيَّةِ لِأَجْلِ كَثْرَةِ فَسَادِ الزَّمَانِ وَأَهْلِهِ
"Bahwasanya taklif disyaratkan mungkin untuk dijalankan, dan ketika boleh mengambil saksi-saksi fasiq karena kerusakan (moral) sudah merata, maka boleh juga meringankan hukum siasy karena banyaknya kerusakan jaman dan manusianya"

2. Statemen Az-Zarkasyi :

لاَ يَنْبَغِي إطْلَاقُ الْقَوْلِ بِالْجَوَازِ مُطْلَقًا لِكُلِّ أَحَدٍ , بَلْ يَرْجِعُ النَّظَرُ إلَى حَالِ الْمُسْتَفْتِي وَقَصْدِهِ

Tidak seharusnya seorang mufti menyampaikan pendapat 'boleh' secara umum kepada siapapun,bahkan dia harus kembalikan penelitiannya pada keadaan dan tujuan dari orang yang meminta fatwa"
Pertanyaan kritis yang bisa kita lontarkan saat ini. Benarkah kontradiksi dua kutub pemikiran ar-Rafi'iy dan Aktsar al-Ulama dilatarbelakangi faktor antropologis dari umat yang berbeda? Dan tepatkah untuk konteks saat ini kita masih mengusung nalar ar-Rafi'iy di tengah-tengah umat?

Garis Besar Kajian
Shalat lima waktu tidak seharusnya dipahami sebagai kebutuhan rohani penyeimbang aktifitas duniawi yang sarat dengan kepenatan dan beban pikiran. Sangat naif, seandainya kebiasaan meninggalkan shalat dan melewatkan waktu shalat lantaran kesibukan duniawi menjadi lazim dan dianggap sebagai warna hidup jaman sekarang. 'Budaya mbangkong' yang sudah menjamur harus dihentikan, karena kebiasaan buruk, lebih-lebih yang bercorak pelanggaran nilai agama hanya akan menyesatkan dan menjauhkan kita dari rahmat dan ampunan Alloh swt. Kata Imam Hasan Al-Bashri;
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنْ اللَّهِ إلَّا بُعْدًا
"Barangsiapa yang dengan sholatnya tidak mampu mencegah dari perbuatankeji dan munkar, maka dia hanya akan bertambah semakin jauh dari Allah swt"

Semoga kita senantiasa mendapatkan petunjuk Allah swt untuk menjalankan shalat lebih konsisten, amin.