Oleh Dar El Azka
Kyai dalam tinjauan etomologis diangkat dari bahasa Ibrani, dari akar kata al-kiya yang artinya ahli ilmu yang mengamalkan ilmunya. Versi lain mengungkapkan, kyai berasal dari bahasa China, dari kata kiya-kiya (jalan-jalan) yang ditafsirkan sebagai seseorang yang menjalankan ilmunya. Dalam Islam sosok kyai diserasikan dengan kata ulama dalam salah satu ayat al-Qur’an (QS. Fathiir : 28) :
إنما يخشى الله من عباده العلماء
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” Menurut istilah, kyai memiliki beragam pemaknaan. Salah satunya, kyai adalah tokoh agama yang memiliki nilai lebih dalam ilmu agama, kesalehan dan juga dalam kepemimpinan. Dalam pengertian ini kyai merupakan figur penting di dalam struktur masyarakat Islam di Indonesia. Figur kyai dengan kapasitas dan kualitas pribadinya menjadi rujukan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik.
Sebagaimana ulama Islam di masa dulu, kyai memahami politik tidak hanya berhubungan dengan pemerintahan atau politik struktural saja, akan tetapi politik lebih diidentikkan dengan term siyasah dalam agama Islam. Artinya persoalan politik juga dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang menyangkut kemashlahatan umat. Mengutip statement Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum ad-Dien, beliau mengatakan :
السياسة استصلاح الخلق بإرشادهم إلى الطريق المنجي في الدنيا والآخرة
"Siyasah adalah memperbaiki manusia dengan menunjukkanmereka kepada jalan keselamatan dunia akhirat"
Artinya, siyasah adalah sebuah usaha membangun umat manusia demi mendapatkan kebaikan hidup dunia dan akhiratnya. Pemaknaan senada disampaikan al-Bujairami, komentarnya; "siyasah merupakan sistem pengaturan yang bertujuan mencapai kemashlahatan bagi rakyat serta menyelesaikan problematika di tengah-tengah mereka". Bahkan as-Syafi'i menegaskan, bahwa siyasah dalam eksistensinya merupakan bagian dan cabang dari syariat Islam. Dengan demikian, memahami siyasah menjadi keharusan dalam rangka mengusahakan kemashlahatan serta menegakkan maqashid as-syariah bagi umat. Dalam satu maqalah dikatakan :
من لم يعلم السياسة أكلته السياسة
"Siapapun yang tidak menguasai siyasah, maka dia akan dihancurkan oleh siyasah"
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menerjemahkan siyasah menjadi tugas berat setiap elemen bangsa, utamanya uli al-Amr, ulama dan rakyat. Uli al-Amr, menurut al-Ghazali, memiliki peran membangun umat secara umum dalam tataran lahiriah, sedangkan ulama secara sinergis bertanggungjawab memback up umat dalam tataran bathiniyah.
Dari kerangka dasar siyasah inilah, kemudian langkah politik kyai dalam percaturan politik Indonesia dicirikan sedikit berbeda. Mayoritas kyai memiliki konstruksi teologi sunni dimana mereka memahami Islam harus memainkan peran yang komprehensif dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik. Akan tetapi dalam realitanya mereka lebih menitik tekankan pada nilai akhlakul karimah dalam berpolitik. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan :
أيما وال ولي ولم يحط رعيته بالنصيحة إلا حرم الله عليه الجنة. ومهما كان الوالى مصلحا حسن الرعاية جميل السيرة كان على الرعية أن يعينوه بالدعاء له والثناء عليه بالخير، ومهما كان مفسدا مخلطا كان عليهم أن يدعوا له بالصلاح والتوفيق للإستقامة وأن لا يشغلوا ألسنتهم بذمه والدعاء عليه فإن ذلك يزيد في فساده واعوجاجه ويعود وبال ذلك عليهم اهـ
“Siapapun orang yang memerintah dan dia tidak memberikan nasehat kepada rakyatnya, maka Alloh akan mengharamkan surga baginya. Dan apabila Dia termasuk pemimpin yang berbuat kebeikan, baik dalam memerintah serta baik dalam setiap sepak terjangnya, maka bagi rakyatnya wajib memberikan pertolongan kepadanya dengan mendoakan dan memujinya dengan kebaikan. Dan apabila Dia termasuk pemimpin yang berbuat kerusakan dan mencampur (antara hak dan bathil), maka bagi rakyat wajib untuk mendoakan agar Dia memperoleh kebaikan dan petunjuk untuk mendapatkan jalan yang lurus. Dan jangan sekali-kali mulut-mulut mereka mencaci dan mendoakan buruk, karena hal itu hanya akan menambah kerusakan dan penyelewengan darinya serta justru berbalik dan menimpa pada diri mereka sendiri”
Siyasah dalam konteks negara Indonesia telah melakoni babak demi babak, dimana langkah sinergis antara uli al-Amr dan ulama mampu menghantarkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan dan membangun bangsa menuju arah yang lebih baik.
Sejarah telah mencatat, kyai-kyai di Indonesia telah menerjemahkan siyasah dengan sangat bijaksana. Pada masa penjajahan Belanda, khidmah siyasi dari para kyai kepada bangsa diarahkan kepada perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Usaha ini dimanifestasikan tidak hanya dalam bentuk perjuangan fisik, tetapi juga dalam bentuk diplomasi dan pembentengan akidah bagi masyarakat awam.
Setelah masa kemerdekaan, peran kyai berkembang selaras dengan kondisi saat itu. Kyai mulai mengkonsentrasikan kiprahnya dalam dunia politik kepartaian dan beberapa kegiatan politik lainnya. Selanjutnya para kyai melakukan langkah strategis menata kegiatan politik di tengah-tengah umat, dengan maksud kiprah mereka dalam dunia politik dapat disinergikan dengan pemahaman politik umat Islam di Indonesia. Pada fase ini di kalangan Nahdlatul Ulama dirumuskan sembilan pedoman politik warga NU, yaitu garis-garis pedoman untuk melangkah bagi kaum Nahdliyin yang menerjuni dunia politik. Di antara kesembilan pedoman politik itu adalah;
1. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mecapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah penegembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
3. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan begitu selanjutnya, dimana peran siyasah para ulama terus mengalami perkembangan dalam usahanya mewujudkan as-siyasah al-‘adilah. Realita ini mengandung maksud bahwa kyai selalu berperan aktif dan fleksibel dalam menerjemahkan siyasah sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an.
Peran aktif dalam dunia siyasah seperti ini dapat kita cuplik dari perjalanan salah satu tokoh kenamaaan NU, KH. Mahrus Ali. Sejak muda Kyai Mahrus sudah banyak terlibat dalam jam’iyah NU, namun lebih banyak berada di luar kepengurusan. Pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, perjuangan Kyai Mahrus menjadi potret kegigihan para ulama dalam usaha bela negara. Dari mulai mengangkat senjata, melucuti persenjataan tentara Jepang sampai d saat pecah perang 10 Nopember ’45, ia turut terjun langsung ke tengah medan pertempuran bersama para santrinya dalam rangka membela negara yang berakhir dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby.
Perjuangan Kyai Mahrus dalam NU dan negara bersifat total. Salah seorang santrinya menuturkan bahwa Kyai Mahrus telah mewakafkan jiwa dan raganya untuk agama bangsa dan Negara. Menurut pandangan Kyai Mahrus, agama dan Negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kata beliau; ”haram hukumnya mendirikan Negara di atas negara. Tidak ada kamus memberontak di dalam NU.”
Perjuangan kyai dalam membangun sendi-sendi siyasi di Indonesia terhitung sangat berat. Mereka harus mengangkat senjata, melakukan upaya bathin dan bahkan harus berdebat panjang dengan berbagai elemen lain dalam rangka merumuskan dasar, asas dan ideologi negara Indonesia. Namun sekali lagi, kearifan dan fleksibilitas mereka dalam menerjemahkan siyasah dalam konteks ke-Indonesia-an disertai dengan keikhlasan dan semangat menata kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang lebih baik, ternyata mampu membawa Indonesia terlepas dari berbagai macam persoalan hingga akhirnya mampu berdiri menjadi negara yang berkedaulatan.
Dengan kata lain, untuk mengidealkan tercapainya cita-cita dalam siyasah, negara mutlak memerlukan peran serta ulama dalam upayanya mewujudkan masyarakat beragama yang adil dan makmur. Di sisi lain, stabilitas nasional mustahil terwujud ketika setiap elemen bangsa tidak berjalan secara sinergis dengan satu tekad dan cita-cita, membangun bangsa dan Negara.
Ust. Darul Azka
Rois LBM-P2L Lirboyo
# by Ekopriantoblog.id - 26 September 2020 pukul 03.14
nahdlatul ulama artinya kebangkitan ulama,,,para ulama yang bangkit bisa memerdekakan negeri ini,,,mungkin kalau semua lapisan masyarakat bangkit, negeri ini akan jadi negeri yang tidak terkalahkan,,,