Redefinisi Kutub al-Mu'tabarah


Menerjemahkan sebuah istilah yang tidak ditemukan koridor jelas merupakan sebuah persoalan rawan polemik. Kita yang sudah berabad-abad lampau mentradisikan rujukan karya-karya orang-orang mulia sebagai kiblat pemikiran, dipaksa harus berpikir sejenak ketika banyak karya baru yang kini disodorkan di tengah-tengah kita. Kesulitan kita untuk mengikat pengenyam fiqh dengan tali simpul normatif versi syariat mungkin justru akan menjadi bumerang. Karena ketidak tegasan sikap kita akan dipahami sebagai bagian dari melegalkan kebebasan membaca tanpa batas yang jelas berakibat penetrasi pemikiran "kurang bertanggung jawab" akan semakin leluasa.
Harus kita pahami, mencuatnya persoalan ini adalah dari usaha memahami kerangka dasar ahl as-sunnah wa al-jama'ah sekaligus tataran prakteknya dalam berbagai aspek. Dalam arti, pengejawantahan prinsip ما أنا عليه وأصحابي harus secara universal, baik dalam akidah, syariah dan aspek-aspek lain termasuk perangkat-perangkatnya. Hal ini, menurut Abî Sa'id al-Khâdimî, menghantarkan pada sebuah pemahaman bahwa ahl as-sunnah wa al-jama'ah bukan hanya sekedar klaim, akan tetapi harus disertai pembuktian ucapan dan perbuatan yang diselaraskan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. Dan di masaku ini, kata al-Khâdimî, hal itu dapat dilihat dari keselarasan dengan kitab besar seperti Shahih Bukhari dan Muslim atau karya-karya terpercaya lainnya (Al-Barîqah syarh at-Tharîqah, hal. 111-112).  
Fenomena ini dapat kita sikapi dengan mencover telaah ulama-ulama terdahulu yang kami rasa tingkat akurasinya sangat bisa dipertanggung jawabkan.
Kita mulai dengan dasar-dasar pemikiran tentang standarisasi rujukan dalam tataran bermadzhab.


&      Madzhab Mudawwan Dan Ghairu Mudawwan
Persoalan ini meskipun sederhana namun sebenarnya paling urgen. Artinya, keakuratan data serta otentifikasi telaah pemikiran ulama yang hidup jauh sebelum kita jelas sangat terjamin apabila banyak dijumpai karya-karyanya untuk kita jadikan rujukan. Imam al-Haramain menuqil dari kalangan muhaqqiqin menyampaikan, prioritas tadwin terutama diperuntukkan untuk kalangan awam. Karena dari pemikiran yang tidak mudawwan, nilai ke-tsiqah-annya jelas dipertanyakan, dan pendapat ini didukung Ibn as-Shalah. Menurut sebagian kalangan seperti Ibn as-Subki tidak membatasi dengan tadwin dan tidaknya sebuah pemikiran. Akan tetapi menurutnya, secara umum kedua kubu ini menyepakati, bahwa ketika masih dimungkinkan kita mempelajari detail tentang pemikiran madzhab selain madzhahib al-arba'ah hingga ditemukan pemahaman utuh, maka bagi kita diperbolehkan menggunakannya. Pertanyaannya, apakah hal ini mungkin terjadi untuk saat ini ?. Paling obyektif kalau kita katakan, tidak mungkin. Dan dengan melihat hal ini sangat tepat kita tempatkan persyaratan tadwin sebagai kunci utama dalam sebuah rujukan madzhab (lihat. At-Taqrîr wa at-Tahbîr, juz. III h. 354 dan al-Fatawi al-Kubra, juz. IV h. 308).

&      Kualitas Dan Kemasyhuran Sebuah Madzhab
Dua hal ini merupakan satu paket syarat yang saling terkait. Dalam arti, langkah antisipatif mempertanggungjawabkan sebuah pemikiran (madzhab) adalah dengan melihat kualitas kajian yang tentunya tidak lepas dari dedikasi pengkaji. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang bertitel mujtahid. Yakni mereka yang betul-betul paham tentang metode inferensi (istinbath) dengan segala infrastrukturnya yang begitu rumit. Selama ini, jujur saja belum ada manusia-manusia sekaliber mereka. Dan yang kita temui belakangan ini hanyalah klaim dan perasaan sekelas dari mereka yang kapasitasnya hanya layak kita juluki muqallid atau bahkan kelas awam. Di samping itu, intensitas penukilan sebuah pemikiran juga semakin menopang keabsahan sebuah madzhab. Terutama ketika sudah mencapai fase masyhur.
As-Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Makiy memaparkan bahwa kemasyhuran sebuah madzhab merupakan penilaian lain selain tadwin, dan hal inilah yang mendasari mayoritas ulama cenderung tidak melegalkan selain madzahib al-arba'ah sebagai bahan rujukan. Karena melihat realitas lapangan, empat madzhab inilah yang secara intensif dikembangkan dan masyhur di beberapa negara. Sehingga menurut beliau, masih ada toleransi untuk madzhab selain madzahib al-arba'ah ketika dijumpai masyhur di sebagian daerah, sebagaimana madzhab Zaid bin 'Ali yang masyhur di sebagian Yaman. Namun menurut beliau, selain masyhur, isi dari kitab-kitab kalangan Zaidiyah mayoritas senada dengan pemikiran kalangan Hanafiyah dan Syafi'iyyah. Dan karena hal inilah mereka boleh mempergunakan pemikiran Zaidiyah sebatas di kawasan mereka (Inârah ad-Duja hal. 33-34).

&       Sanad Dan Keaslian Sebuah Madzhab
Kepentingan sanad dalam sebuah karangan adalah membedakan pemikiran yang masih membawa dasar-dasar jelas dan pemikiran baru yang diwacanakan meskipun terkadang sejalan. Karena menurut dasar-dasar fiqh kita, ijtihad yang diwacanakan orang-orang yang tidak berkompeten (mustaufi li as-syurûth) selamanya tidak akan diakui meskipun hasilnya selaras dengan madzhab yang telah ada. Faedah lain adalah untuk membuktikan pengakuan bahwa sebuah kutipan adalah dari madzhab-madzhab terdahulu yang diakui. Dalam arti, madzhab-madzhab selain madzhahib al-arba'ah yang sudah kehilangan intensitas penukilan atau dapat kita katakan tidak masyhur meskipun mudawwan, memerlukan persyaratan ini sebagai pembuktian keotentikannya (baca, Inârah ad-Duja hal. 33-34).
Selain hal di atas, kitab-kitab yang hanya berisi penukilan dan bukan mewacanakan ijtihad baru, semestinya tetap harus diklarifikasi tingkat keadilan dan kejujuran pengarangnya. Karena disinyalir, meskipun dia tidak mewacanakan ijtihad baru, menyampaikan sebuah pemikiran tentunya sangat mungkin terjadi pengurangan, penambahan atau bahkan kebohongan (baca, Inârah ad-Duja hal. 33-34, Qawâ'id al-Fiqh Li Muhammad 'Amîmi, juz. I h. 565 dan Is'âd ar-Rafîq, juz. II. H. 90-91).

&      Tema Dan Isi Sebuah Rujukan
Setiap kajian menuntut pertanggung jawaban moral, baik kepada Allah maupun kepada sesama. Sehingga demi memenuhi pertanggung jawaban ini, syariat sangat tidak mengijinkan umat Islam melemparkan ataupun mengkonsumsi wacana-wacana yang sudah melewati koridor moral semacam ini. Secara garis besarnya, setiap wacana tidak diperbolehkan menyalahi al-Qur'an, al-Sunnah serta kesepakatan hukum ulama-ulama terdahulu. Mengenai hal ini, Ar-Rafi'i memberikan garis batas muatan-muatan ilmu yang terlarang dengan statemennya.
كل علم يشتمل على عقيدة باطلة أو تخييل أو تدليس أو تصوير أو ضرر أو دعوى علم غيب أو نهى عنه الشرع فهو حرام

&       Konklusi Devinisi Kutub Al-Mu'tabarah
Sebenarnya syariat hanya menggaris bawahi, bahwa rujukan yang diperbolehkan untuk kita jadikan pedoman adalah Al-Kutub al-Mautsuq fi Shihatih (rujukan yang diakui keotentikannya). Dan bahasa inilah yang sering kita istilahkan dengan Kutub al-Mu'tabarah. Namun dalam tataran penerapan dalam berbagai jenis rujukan, dapat kita jabarkan dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut.

v  Pertama, Rujukan Dari Madzhab-Madzhab Masyhur.
Dalam hal ini, kitab maupun wacana yang disandarkan pada madzhab-madzhab ini semuanya dapat dijadikan rujukan, meskipun di luar madzahib al-arba'ah. Hanya saja jika tingkat kemasyhurannya terbatas pada kawasan tertentu, pemikiran dari sebuah madzhab masyhur tidak bisa dibawa keluar sebagai bahan rujukan.
Dan untuk kitab-kitab hasil dari penukilan bukan dari ijtihad harus memenuhi syarat penukilnya termasuk adil ataupun tsiqah.
v  Kedua, Rujukan Dari Madzhab-Madzhab Yang Tidak Masyhur.
Untuk jenis ini perlu kita telusuri melalui uji kelayakan madzhab, mulai dari sanad maupun kandungan ajarannya. Baru kemudian bisa kita katagorikan mu'tabarah.
v  Ketiga, Rujukan Non Madzhab.
Khusus untuk bagian ini, kami rasa perlu kita berikan batasan-batasan tertentu sebelum kita berani menilainya sekelas dengan kutub al-mu'tabarah. Di antara batasannya adalah :
ü      Tidak berseberangan dengan al-Qur'an, as-Sunnah dan kesepakatan ulama.
ü      Isi dan kandungannya jelas dan tidak ilegal.
ü      Di dukung oleh dalil umum yang selaras.