Konon, suatu ketika Nabi Yunus pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, "Hai Jibril, tunjukkan padaku sosok manusia yang paling taat beribadah di dunia ini !". Jibril menjawab seraya berisyarat dengan menunjukkan pada sosok laki laki yang tangan, kaki serta pandangan matanya hilang akibat penyakit kusta (al-judzam). Meskipun dalam keadaan demikian, ia tidak bosan bosan berucap: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan tangan, kaki dan kedua mata ini sebagai karunia dari-Mu. Dan kini telah Engkau hilangkan semuanya, juga atas kehendakmu, namun masih Kau beri aku pengharapan kepada-Mu". [1]
Betapa besar kepercayaan diri dari laki laki dalam hikayat di atas. Dalam ujian yang begitu berat, ia masih mampu menunjukkan ketaatan yang begitu besar, hingga menghantarkannya menjadi hamba Allah yang paling mulia di muka bumi. Seyogyanya hikayat di atas dapat kita jadikan cermin, bahwa segala penyakit termasuk kusta pada hakikatnya merupakan ujian ketakwaan bagi seorang hamba, bukan kutukan maupun keturunan. Sehingga ketika seorang hamba bersabar serta menyadari hakikat sebuah cobaan, dan bahkan tidak mengurangi kepercayaan diri dalam menempuh kehidupan, bukan tidak mungkin ia akan menjadi hamba yang paling dicintai Tuhannya.
II.PROBLEM SOLVING
i.Kusta Dalam Definisinya
Kusta dalam literatur pengobatan Islam (al-Thîb al-Islamy) dibedakan dalam dua jenis:
Pertama, al-Judzam, yakni penyakit yang diakibatkan penetrasi cairan hitam dari empedu ke sekujur badan hingga mengakibatkan perubahan sifat (resam tubuh), karakter serta penampakan organ tubuh. Dan pada fase berikutnya, ketika tidak segera diobati akan berakibat cacat permanen. Dalam islam, penyakit ini dinamakan dâ' al-asad (penyakit macan), dengan ditandai bercak merah pada tubuh terutama wajah kemudian menghitam dengan diikuti bau yang kurang sedap dan terakhir ketika terlambat diobati akan berakibat kecacatan.[2] Untuk jenis ini lebih tepat dikatagorikan sebagai kusta basah.
Kedua, al Abrash, yaitu penyakit kusta yang ditandai bercak putih pada bagian luar kulit hingga selanjutnya dapat berakibat belang kulit serta menghilangkan kemampuan peredaran darah dalam kulit.[3] Dan biasanya rambut yang tumbuh pada organ tubuh yang terjangkit akan berwarna putih. Jenis inilah yang biasa diistilahkan dengan kusta kering. Namun dalam spesifikasinya mirip dengan bagian pertama, yakni ketika pengobatan terlambat dilakukan maka kecacatan juga mungkin terjadi.
ii.Telaah Qur'any
Dalam Surat Al-Maidah ayat 110 yang menjelaskan tentang mu'jizat Nabi Isa, Allah berfirman:
وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي
"Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak (kusta) dengan seizin-Ku"
Setiap mu'jizat diturunkan sesuai dengan budaya jamannya. Pada masa Nabi Isa, tradisi kedokteran sedang mengalami kemajuan pesat. Hingga Allah menurunkan kusta sebagai penyakit yang sulit untuk disembuhkan, bahkan para ahli kedokteran di masa itu menganggap mustahil untuk melakukan penyembuhan. Namun kebesaran Allah menunjukkan, bahwa kusta dapat disembuhkan atas kehendak-Nya. Dan untuk saat ini, Allah juga telah menurunkan pertolongan (ma'unah) kepada manusia untuk bisa menyelesaikan penyakit kusta secara mudah dan cepat.
Setiap penyakit ada obatnya, namun hanya kebesaran Allah yang menentukan segala kesembuhan. Allah berfirman dalam QS. As-Syu'araa' :80
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
"Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku"
Hal ini menjadi bukti, betapa naifnya kita sebagai manusia. Namun bukan berarti kita harus menyerah, karena Allah juga mewajibkan kita untuk berusaha (Ihtiyar). Dan Insyaallah dengan usaha kita, segala obat dari berbagai macam penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan, akan segera ditemukan demi kepentingan umat manusia.
iii.Kusta Dalam Sunah Nabi
Sinkronisasi Dua Pemahaman Tentang Penularan Kusta
"Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas" (HR. Bukhari)
Catatan :
Dalam kitab Tabyinul Haqa'iq Syarah Kanzu ad-Daqa'iq dijelaskan bahwa arti tekstual hadits ini “perintah untuk menghindar”, secara Ijmâ' (konsensus ulama) bukanlah makna yang dikehendaki. Karena siapapun diperkenankan mendekat (bergaul) dengan penderita kusta dan bahkan dijanjikan pahala atas segala upaya pelayanan dan perawatannya.[4]
"Dalam sebuah peperangan, ada seorang laki laki berpenyakit kusta utusan Tsaqif yang kemudian oleh Nabi diberikan kabar (lewat utusannya),"Aku telah membaiatmu dan kembalilah ke (rumahmu)" HR. Muslim
Menerjemahkan sebuah istilah yang tidak ditemukan koridor jelas merupakan sebuah persoalan rawan polemik. Kita yang sudah berabad-abad lampau mentradisikan rujukan karya-karya orang-orang mulia sebagai kiblat pemikiran, dipaksa harus berpikir sejenak ketika banyak karya baru yang kini disodorkan di tengah-tengah kita. Kesulitan kita untuk mengikat pengenyam fiqh dengan tali simpul normatif versi syariat mungkin justru akan menjadi bumerang. Karena ketidak tegasan sikap kita akan dipahami sebagai bagian dari melegalkan kebebasan membaca tanpa batas yang jelas berakibat penetrasi pemikiran "kurang bertanggung jawab" akan semakin leluasa.
Harus kita pahami, mencuatnya persoalan ini adalah dari usaha memahami kerangka dasar ahl as-sunnah wa al-jama'ah sekaligus tataran prakteknya dalam berbagai aspek. Dalam arti, pengejawantahan prinsip ما أنا عليه وأصحابي harus secara universal, baik dalam akidah, syariah dan aspek-aspek lain termasuk perangkat-perangkatnya. Hal ini, menurut Abî Sa'id al-Khâdimî, menghantarkan pada sebuah pemahaman bahwa ahl as-sunnah wa al-jama'ah bukan hanya sekedar klaim, akan tetapi harus disertai pembuktian ucapan dan perbuatan yang diselaraskan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. Dan di masaku ini, kata al-Khâdimî, hal itu dapat dilihat dari keselarasan dengan kitab besar seperti Shahih Bukhari dan Muslim atau karya-karya terpercaya lainnya (Al-Barîqah syarh at-Tharîqah, hal. 111-112).
Fenomena ini dapat kita sikapi dengan mencover telaah ulama-ulama terdahulu yang kami rasa tingkat akurasinya sangat bisa dipertanggung jawabkan.
Kita mulai dengan dasar-dasar pemikiran tentang standarisasi rujukan dalam tataran bermadzhab.
Masih belum hilang dari alam sadarku, yai Aziz yang mengurai sejarah pondok kita tercinta ini, dan dengan lengkap menuturkan kebesaran pendahulu kita saat mereka melakoni sekolah, musyafahah, dan musyawarah-musyawarah mereka….
Itulah tradisi yang telah mereka bangun di tempat ini…mereka telah memperoleh keutamaan…wahum bisabqihim haizuuna tafdzila…
Aku juga teringat saat mbah yai Idris memberi wejangan saat pembuka tahun dimulai…..
Beliau dawuh di akhir pesan-pesannya tentang musyawarah, “…mari kita semangatkan lagi musyawarah..”….
Dan inilah tugas kita saat ini…menjadi Ibnu Malik-Ibnu Malik baru yang mengerti makna “faiqotan..”..mengembalikan tradisi dan menyuburkannya menjadi tradisi dan diskusi yang lebih baik…
Mukadimah
Musyawarah adalah sebuah kegiatan diskusi dalam rangka melatih berfikir secara kritis, cermat dan akurat demi tercapainya keputusan bersama dengan kualitas kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan.
Rasulullah bersabda :
ما تشاور قوم الا هدوا لأرشد أمرهم
Artinya : Tidaklah bermusyawarah suatu kaum kecuali mereka ditunjukkan (Alloh) pada perkaranya yang paling tepat.